Senin, 24 Agustus 2009

Dunia Malam: Layanan PSK Uzbekistan hingga ABG 15 Tahun

Jarum jam menunjuk pukul 22.45 ketika Raiya tiba-tiba muncul di antara kerumunan wanita bule di ruangan lantai tujuh Hotel A di Jalan Lodan Raya, Jakarta Utara, Jumat (19/10). Wanita berkebangsaan Uzbekistan berusia sekitar 45 tahun itu lalu duduk di depan seorang gadis berambut pirang yang mengenakan blus mini warna hitam.

“Cewek-cewek itu di sini kami sebut ladies company atau LC, sedangkan Raiya salah seorang agennya. Mereka berasal dari Uzbekistan. Di sini ada juga cewek Thailand, Vietnam, dan cungkok dari China. Ada juga yang lokal. Terserah Anda, mau yang impor atau lokal,” kata seorang pelayan di ruangan itu.

Sebutan LC sebenarnya sama dengan pramuria, sedangkan agen tak lain mami alias germo.

Di tempat hiburan itu terdapat belasan wanita muda asal Uzbekistan, selain belasan lain dari China, Thailand, dan Vietnam. Pekerja seks komersial (PSK) asal Uzbekistan rata-rata memasang tarif Rp 1,5 juta untuk sekali kencan singkat. Sementara tarif PSK asal negara Asia Timur rata-rata Rp 1 juta. Adapun PSK lokal memasang banderol Rp 800.000.

Gadis-gadis yang ada di ruangan itu berbaur dengan pengunjung umumnya mengenakan pakaian serba mini. Bahkan, beberapa di antaranya tak mengenakan baju, kecuali kutang dengan rok transparan.

Di lantai tujuh Hotel A juga ada ruang khusus untuk mandi atau berendam. Tersedia dua kolam kecil, yakni satu kolam air hangat dan satu lagi air dingin.

Setiap pengunjung pada saat berendam di kolam akan ditemani seorang pramuria. Seusai bilas, mereka bisa ke kamar di lantai enam atau duduk di sofa sambil menikmati minuman. Pengunjung bisa juga menonton penari telanjang di balik tirai transparan dekat kolam.

Pengunjung di lantai tujuh pada Jumat malam itu masih terbatas. “Meski belum begitu ramai, tamunya sudah lumayan. Setelah berendam, mereka langsung masuk kamar di lantai enam. Tarif yang sudah saya sebutkan itu untuk short time, selama satu jam 30 menit. Mau dibawa ke luar juga bisa, setelah jam kerja selesai pukul 01.00,” kata pelayan tempat itu.

Hotel A juga ada diskotek di lantai dasar. Di Jakarta Utara, Hotel A memang salah satu tempat hiburan yang selalu ramai dikunjungi.

Tempat-tempat hiburan, seperti mandi uap atau sauna, panti pijat, dan diskotek, di Jakarta mulai dibuka lagi sejak 16 Oktober setelah sebulan lebih tutup sejak awal Ramadhan lalu. Akan tetapi pengunjung mulai ramai mendatangi dan memadati tempat hiburan, terutama diskotek, pada Jumat malam itu.

Suasana Diskotek S sudah sama persis dengan situasi Jumat malam lain sebelum bulan puasa lalu. Di diskotek itu pengelola juga menyediakan PSK. Beberapa orang “mami” menawari pengunjung laki-laki- yang memasuki ruangan diskotek.

PSK juga dijumpai di lokasi pertunjukan musik hidup di satu lantai di bawahnya, yang sekaligus menyediakan kamar-kamar layanan kencan singkat.

Wajah baru

Ada wajah-wajah baru. Mereka kikuk mengenakan pakaian serba mini dan agak canggung menemani tamu. Salah satunya adalah Claudia, bukan nama sebenarnya, gadis belia yang baru berusia 15 tahun.

Tidak seperti gadis-gadis yang sudah mahir melayani tamu di dunia malam, Claudia kikuk, malu, dan tampak takut-takut. Dia berbicara seperlunya dan itu pun kalau diajak bicara. “Saya mulai kerja di sini sebulan lalu, tepat sebelum puasa,” katanya.

Gadis asal Bandung itu mengaku masih takut melayani tamu. Sebenarnya dia diajak oleh seorang mami yang menawarkan untuk bekerja sebagai pelayan minuman, bukan pekerja seks. Namun, dia kini sudah mulai mengerti tentang “dunia lain” itu meski tetap canggung.

Semua PSK yang menemani tamu di ruang musik hidup ini siap melayani laki-laki hidung belang. Mereka yang sudah biasa bekerja seperti itu lebih aktif mendatangi pengunjung yang duduk di bangku-bangku sambil mendengarkan musik.

“Kalau mau ngamar tarifnya Rp 285.000 hingga Rp 300.000 per jam. Boleh juga dibawa keluar,” kata Claudia dengan wajah tertunduk.

Pada Jumat malam itu “kehidupan malam” tidak hanya terdapat di dalam gedung. Sejumlah PSK pun secara terang- terangan menawarkan jasa di tepi Jalan Hayam Wuruk. Setiap pengendara mobil yang memperlambat gerak kendaraan langsung didekati.

Terdapat puluhan gadis muda berdiri antara Olimo hingga menjelang halte bus transjakarta di kawaan Harmoni.

“Untuk short time Rp 350.000, sudah termasuk dengan kamar hotel. Tetapi, kalau masuk diajak hotel lain juga bisa, tarifnya tetap,” ucap seorang PSK yang mengenakan celana pendek ketat.

“Apa yang kita dapat dari kehidupan malam seperti ini?” tanya seorang rekan seusai mengunjungi tempat-tempat hiburan itu. Saat itu jarum jam menunjuk pukul 03.00, Sabtu (20/10). Bagi penikmat hiburan malam, jawabannya pasti berbeda dengan yang tidak biasa.

Gambaran tentang kehidupan malam di Jakarta memang bervariasi, setidaknya seperti diwakili oleh tempat yang kami kunjungi. Apresiasi dan kesenangan atas “dunia tubuh” adalah sisi liar duniawi, dengan karakter banyak berseberangan dengan sisi lain kemanusiaan kita yang “canggung dan takut” seperti diwakili Claudia. (CAL/KSP)